--
“Rinn-chaaann!!!! Ayo ke pantai!”
Aku menggeleng. “Tidak ah.. Rinn mau tidur..”
“Ayolah.. Mizuki bosan di rumah..”, kata Mizuki memohon.
Aku mendengus, lalu mengangguk terpaksa. “Iya iya.. sebentar aja lho ya..”
“Asiiik..”, Mizuki menarik tanganku hingga Aku hampir terjatuh. “Aaa.. hati-hati, Mizuki-chan!”, teriakku takut.
Aku dan Mizuki berjalan berdua menuju pantai dekat rumah nenek mereka. kulirik Mizuki, sepupuku dengan pandangan bingung.
“Hei, Mizuki-chan. Rinn bingung, kenapa Mizuki-chan suka sama pantai?”, tanyaku penasaran
“Karena pantai itu indah, lalu bisa liat matahari terbit dan matahari terbenam disana..”, kata Mizuki.
“Ooh..”
“Iya, makanya Mizuki mengajak Rinn-chan kesini, untuk melihat Sunset di sini, mumpung masih di Tokyo kan?”
Aku mengangguk. Mulai tertarik dengan kata-kata Mizuki. “Ya sudahlah.. mungkin akan menyenangkan.. daripada bosan di rumah..”.
“Naah.. begitu dong..”, Mizuki menunjuk suatu tempat. “Rinn-chan! Itu pantainya!”
Aku terperanjat. Kagum, kaget, senang, semua jadi satu.
“Waaah.. indahnya.. “, kataku kagum. Pantai itu lengang, hanya ada satu-dua orang di sana. Air pantai yang bergelombang siap untuk menyambutku. Suasana khas pantai yang membuatku tenang. Tak menyesal aku menemani Mizuki kesini.
“Eh! Mizuki-chan! Tungguin Rinn!”, seruku ketika aku melihat Mizuki sudah tidak disampingku dan sudah berlari ke arah pantai. Sudah kutebak, dia akan mengajakku bermain air.
“Rinn-chaaann! Ayo cepaaatt...”, teriak Mizuki.
“Iyaaaa... tungguin Rinn dong..!!!!”, teriakku.
‘Mizuki tidak sabaran sekali’, batinku
Aku terus berlari.. tanpa sadar ada sebuah batu besar dan aku tersandung dengan bodohnya. Aku, menangis.
“Uwaaaaaaaa ....”
“Rinn.. Rinn-chan!”, Mizuki berteriak keras. Ia ketakutan. takut kalau sepupu sekaligus sahabatnya yang baik ini kenapa-napa.
“Sakiit..”, rintihku lalu menangis lagi. Pastinya, jauh lebih keras.
“Rinn-chan.. Mizuki panggilin Okaasan dulu ya!”
Mizuki berlari ke rumahnya untuk mencari ibunya atau yang biasa kusebut bibi, yang dulu adalah seorang dokter. Aku menunggu sendirian, memandang pantai, sambil terus menangis.
Ada yang menepuk pundakku.
“Kenapa menangis?”, tanya seorang anak laki-laki yang kelihatannya 2 tahun lebih tua dariku.
“A..aku—“
SRETT
“Nih”, kata anak laki-laki itu sambil menyodorkan sapu tangan itu dihadapanku. Aku yang masih tertegun, hanya menatapnya heran.
“Aku taruh sini ya. Sudah, jangan menangis terus..”, katanya sambil menaruh sapu tangannya ke genggaman tanganku. Tangisanku sudah mulai reda.
“Terimakasih..”
Dia menepuk pundakku. Lalu tersenyum. Aku merasa nyaman.. nyaman sekali.. dan aku berhenti menangis. Ikut tersenyum, tidak menghiraukan luka dan darah yang terus mengucur dari lukaku. Pemandangan pantai menambah indahnya suasana saat itu.
“Jangan menangis lagi yaa..”, kata laki-laki itu. “Sapu tangan ini untukmu. Jaga baik-baik. Ini kenang-kenangan dariku.”, katanya lagi sambil beranjak pergi.
“Aaah.. tunggu!!”, teriakku mencegah dia pergi. Dia menatapku heran.
“Ambillah ini, ini kenang-kenangan dariku..”, kataku sambil melepas syal biru tua buatanku sendiri. Aku memberikannya dengan hati-hati, seperti orang yang sedang memberi berliannya pada orang lain. Takut syal itu rusak. “Sekaligus ucapan terimakasih”, tambahku.
Dia tersenyum, memakai syal itu dan berlalu pergi. Aku berteriak, berusaha menahannya sekali lagi, tapi dia terus berjalan, menjauh..
“Jangan pergiiii.. kumohooon.. jangan pergi!!!”
Aku berteriak sekencang-kencangnya, sampai akhirnya sebuah cahaya terang datang menghampiriku, semakin dekat.. dekat.. semakin dekaatt..
bersambung....
bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar